INI TUGAS DASAR JURNALISTIK (COPAS)

5/30/2011

--> "KETIKA PERFILMAN INDONESIA TIDAK MENGGUGAH SELERA PENONTON"

Industri perfilman nasional sering menerima kritik karena banyak film yang diproduksi dianggap tidak mendidik atau bahkan merusak moral. Sebut saja film-film horor yang dibumbui adegan-adengan "17+". Bahkan film-film tersebut mempunyai kecenderungan tumbuh dengan pesat dan mendominasi dari seluruh produksi film tanah air.

Hampir seluruh film yang ditayangkan akhir-akhir ini mempunyai tema yang serupa. Walaupun banyak yang mengecam, toh film dengan topik mistis ini pun masih saja banyak diproduksi, banyak yang menduga karena memang masih tingginya minat masyarakat terhadap film-film yang "ber-genre' demikian.

Ada postulate ekonomi yang dianggap mencerminkan kondisi ini, yaitu "demand creates its own supply". Masih menjamurnya film-film tersebut selalu dikaitkan dengan tingginya animo masyarakat. Produser film tentu tidak akan memproduksi film yang dianggapnya tidak akan ditonton masyarakat.

Pendapat demikian jelas hanya melihat kondisi ini dari satu sisi saja yaitu dari sisi permintaan (demand), melihat dari satu sudut saja tentu tidak akan banyak membantu kita memahami persoalan yang sesungguhnya yang mungkin saja lebih rumit.

Dalam hal ini menyalahkan sebagian masyarakat karena masih banyaknya film yang tidak berkualitas terus beredar mungkin saja bukan pendapat yang bijaksana, karena bisa jadi bukan taste yang menjadi faktor penentu utama (major determinant) yang menciptakan supply, bukan selera masyarakatlah yang menjadi faktor pendorong utama bagi produser terus membuat film.

Tapi lebih kerena keputusan bisnis (bussiness decision) yang terkait dengan maksimisasi laba pada industri ini, atau lebih tepatnya ada faktor lain yang cukup signifikan mempengaruhi yaitu pada sisi penawarannya (supply matters). Melihat permintaan tanpa memperhatikan penawaran akan seperti orang yang bertepuk sebelah tangan.

Hal ini terlihat dari statistik jumlah penonton film Indonesia sebagai berikut;

  1.Laskar Pelangi, 2008, 4.606.785
  2.Ayat-ayat Cinta, 2008, 3.581.947
  3.Ketika Cinta Bertasbih, 2009, 3.100.906
  4.Ketika Cinta Bertasbih 2, 2009, 2.003.121
  5.Sang Pemimpi, 2009, 1.742.242
  6.Get Married, 2007, * 1.400.000
  7.Garuda di Dadaku, 2009, 1.371.131
  8.Nagabonar Jadi 2, 2007, * 1.300.000
  9.Terowongan Casablanca, 2007, * 1.200.000
10.Get Married 2, 2009, 1,187,300

Terlihat bahwa dari 10 film yang paling banyak ditonton, hanya ada satu film bertema horor-itupun bukan film horor yang diselingi dengan "adegan 17+"--yang masuk daftar. Dari sini terlihat bahwa film-film yang dianggap memberi nilai edukasi dan berkualitaslah yang paling banyak menarik penonton untuk datang ke bioskop.

Karena itu tentu tidak tepat untuk menyimpulkan bahwa masyaratat kita mempunyai selera rendah yang menyukai film berbau mistik, tidak rasional dan berbumbu scene erotik. Tentu saja akan slalu ada yang menonton film-film tersebut, akan selalu ada pasar untuk film-film tersebut, namun dari data tersebut terlihat bahwa jumlah penonton untuk film-film demikian tidaklah dominan.

Lalu, kenapa film-film tersebut menjamur? Nah, mungkin analisis dari sisi penawaran (supply) berikut bisa sedikit membantu memahami apa yang tersembunyi dibalik kondisi ini.

Struktur Biaya
Seperti industri-industri lain, industri perfilman mempunya struktur biaya yang terdiri dari biaya tetap (overhead/sunk cost) dan biaya variabel. Pada industri perfilman biaya tetap memiliki porsi yang lebih besar dari pada biaya variabelnya. Investasi/dana lebih besar dibelanjakan untuk biaya tetap seperti peralatan.

Biaya tetap merupakan biaya yang totalnya tidak terpengaruh dengan jumlah produksinya dalam rentang waktu tertentu (short-term), dari sudut pandang akuntansi akan lebih menguntungkan memproduksi dalam jumlah yang banyak karena biaya tetap rata-rata per produk menjadi semakin kecil, dan biaya produksi per output akan relatif menuruh atau murah.

Dengan kondisi ini, walaupun pendapatan tidak mencukupi untuk menutupi seluruh biaya yang dikeluarkan (biaya tetap + biaya variable) karena memang total biaya yang tinggi yang membutuhkan lebih banyak penonton ataupun harga tiket yang tinggi, produser akan tetap memproduksi film sepanjang hasil penjualan tiket film tersebut cukup meng-cover biaya variabel.

Produser film akan tetap termotivasi untuk memproduksi film walaupun hasil yang diperoleh hanya cukup untuk menggaji kru, pemain film (dan tentunya margin untuk produser) dll, dan belum mampu mengganti biaya untuk peralatan maupun biaya tetap lainnya yang besar. Hal ini disebabkan karena produser akan mengalami kerugian besar jika menghentikan sama sekali produksi film. Industri perfilman, ketika memutuskan untuk tidak berproduksi lagi, maka produser film akan mengalami kerugian besar atas seluruh investasinya yang sudah dikeluarkan untuk membiayai biaya-biaya tetap maupun biaya-biaya variabel.

Produksi yang Murah
Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa film "horor" yang menjamur?. Secara intuitif kita bisa dengan mudah menebaknya. Ya, Karena film ber-genre horor ini mempunyai keunggulan dalam hal cost of production yang relatif lebih murah. Hal ini menjadi make sense jika kita memperhatikan lebih cermat.

Film horor dengan teknik yang sederhana, cerita yang tidak terlalu rumit, lokasi yang monoton, pemain yang dipilih tidak berorientasi pada kemampuan akting, dan tentunya jangka waktu yang bisa relatif lebih pendek akan secara signifikan menekan biaya produksi. Hal ini juga sekaligus menjawab pertanyaan mengapa film horor yang beredar jarang mempunyai kualitas baik gambar, jalan cerita maupun pemain yang kurang memadai. Karena memang dikondisikan seperti itu, kualitas linear dengan biaya.

Bahkan ketika semua peralatan (biaya tetap) untuk pembuatan film disewa, yang mana struktur biayanya akan mendekati biaya variabel seluruhnya, membuat film-film horor ini masih cukup menguntungkan karena mempunyai keunggulan proses produksi yang murah.

Terakhir, Ketika masyarakat "bersepakat" bahwa film horor yang berbumbu adengan 17+ merupakan "produk sampah" dan tidak layak edar karena berpotensi merusak moral, maka yang bisa diandalkan menjadi filter yang kredibel adalah pada Lembaga Sensor Film (LSI), karena pasar telah terbukti gagal mengeluarkan "produk sampah" dari pasar, karena film-film tersebut memang unggul pada biaya produksinya.
Kegagalan pasar dalam bentuk eksternalitas ini butuh intervensi pemerintah, selain pengetatan standar yang diterapkan oleh LSI, pemerintah juga mempunyai kewajiban mendorong film-film bermutu terus tumbuh dengan segala instrumen yang dimilikinya.

Jadi, Bukan kesalahan masyarakat jika lebih memilih menoton film "asing" (luar negeri) dibanding produksi negeri sendiri :)

You May Also Like

0 komentar